SRAGEN-Ribuan karyawan, Satgas dan
serikat pekerja PTPN IX se-Jateng menyampaikan aspirasi atas aksi anarkis
Sambirejo demo di halaman pabrik PTPN IX Kedawung (26/3).
Aksi anarkis dan
penebangan pohon karet di wilayah Afdeling Kepoh milik PTPN IX Batujamus,
Kerjoarum oleh ratusan warga Kecamatan Sambirejo, Senin (3/3) lalu, masih
menyisakan rasa trauma bagi 10 petugas pengamanan dan karyawan PTPN IX wilayah
Afdeling Kepoh. Di sela-sela aksi demo yang digelar di halaman kantor PTPN IX
di Kedawung, Kamis (6/3), mereka pun turut dihadirkan di tengah massa dan
kepolisian untuk memberi kesaksian.
Widodo, mandor kebun
yang menjadi korban terluka dalam aksi penyanderaan itu pun membeberkan kisah
pedih yang dialaminya.
“Siang itu, sekitar
pukul 12.30 WIB, kami berjaga di kebun wilayah Kepoh, Sambirejo bersama
teman-teman petugas keamanan. Ketika warga sudah menebangi pohon, tiba-tiba Pak
Narji datang. Kerah baju saya langsung dipegang dan ditarik ke atas. Dia bawa
tombak dan didorongkan terus ke arah leher saya sampai terluka ini,” ujarnya
sambil menunjukkan luka memanjang di bahu tengahnya”
Ia mengisahkan,
situasi siang itu memang sangat mencekam. Di tengah areal kebun karet, ia dan
sembilan petugas keamanan serta satpam PTPN IX yang sedang piket patroli tak
bisa berkutik, karena seluruh pohon karet berukuran besar di sekitar mereka
sudah ditebangi oleh warga hingga menutup semua akses keluar. Setelah dilukai
tombak, ia dan sembilan petugas dibiarkan terlantar dalam kepungan pohon selama
hampir dua jam.
“Mau keluar gimana, lha wong nggak ada jalan.
Sekeliling kami sudah dipenuhi pohon yang sengaja ditumbangkan menutup semua
jalan keluar. Selama dua jam itu ya nggak
bisa apa-apa, hanya duduk diam di dalam sambil menunggu bantuan. Mau jalan
keluar sepeda motor kami juga sudah digembosi semua oleh mereka,” timpal
Suparno, salah satu petugas yang menjadi korban penyanderaan.
Sementara, Sumadi,
petugas lainnya yang juga ikut tersandera, mengatakan meski dibiarkan
tersandera, tidak ada aksi pemukulan lainnya. Namun, ia sempat menyaksikan
kalimat bernada ancaman yang keluar dari Sunarji saat menghunuskan tombak ke
bahu mandornya, Widodo. “Waktu menodongkan tombak itu, Pak Narji hanya bilang
perjuangan memang harus ada korban. Begitu dia bilang,” terangnya.
Sumadi menambahkan
setelah dua jam tersandera, ia dan beberapa petugas akhirnya bisa keluar berkat
bantuan salah satu anggota Intel Kodim 0725/Sragen, Rofiq yang datang dan
mencarikan jalan keluar.
Kapolres Sragen, AKBP
Dhani Hernando mengatakan hingga kini penyelidikan kasus tersebut masih
dalam proses. Menurutnya, tim masih
melakukan pengumpulan bukti-bukti dan data-data di lapangan. Ia juga
menggaransi penanganan akan tetap berjalan seperti apa yang sudah
diinstruksikan Kapolda Jateng, Irjen Pol Dwi Priyatno saat ke Polres tiga hari
lalu.
“Penanganan jalan
terus. Ini masih kumpulkan bukti-bukti. Kami juga mengimbau warga dan PTPN IX
bisa menahan diri dan menjaga kondusivitas seperti apa yang disepakati dalam
mediasi di Pemkab lalu,” ujar Dhani, Jumat (7/3).
Administratur PTPN IX
Kerjoarum, Agus Hargiyanto tetap berharap penanganan kasus ini bisa dituntaskan
dan pihak yang terbukti bersalah melakukan perusakan maupun penganiayaan bisa
dihukum sesuai aturan. Pasalnya, tidak hanya merugikan PTPN IX dan aset negara,
aksi perusakan pohon karet di Sambirejo sudah berlangsung belasan tahun tanpa
pernah ada tindakan tegas dari aparat.
Ia juga menegaskan
sebenarnya status lahan yang diklaim milik warga itu sudah punya kekuatan hukum
sebagai aset BUMN dan PTPN. Hal itu ditunjukkan dengan bukti Hak Guna Usaha
(HGU) yang paling terakhir terbit tahun 2008 dengan durasi 25 tahun.
Menurutnya, dari sekitar 425 hektare lahan di Afdeling Kepoh, 251 hektare sudah
terbit HGU dan sisanya saat ini masih dalam proses di BPN pusat.
“Jadi secara legal
formal, lahan itu memang milik negara dan oleh BUMN pengelolaannya diserahkan
kepada PTPN. Kalau dirusak berarti merusak aset negara. Kerugian kami dari aksi
Senin (3/3) lalu saja hampir Rp 3 miliar, padahal aksi penjarahan itu sudah
berlangsung sejak 2000. Kalau dibiarkan berarti akan semakin mengancam aset
negara yang harusnya dilindungi,” tukasnya.
Ia juga mengatakan
jika supremasi hukum tak ditegakkan, maka dikhawatirkan aksi penjarahan akan
terus terulang dan daerah juga akan dirugikan. Sebab, hampir setiap tahun,
kontribusi PTPN untuk membayar PBB mencapai Rp 14 miliar.
Sumber :
REVIEW
:
Pengelolaan
hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya
pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa dekade, kegagalan
Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki
kawasan hutan dituding sebagai faktor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan
rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama
penggerak pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar,
baik dari segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis. Setidaknya terdapat
beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan
hutan . *Pertama*, paradigma pengelolaan hutan selama ini yang cenderung
eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tanpa melihat nilai sosial-budaya,
serta ekologis dari kawasan hutan. *Kedua*, kebijakan pengelolaan hutan tidak
bersifat strategis dan multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan
hutan dengan sektor pembangunan lainnya. *Ketiga*, konflik antara masyarakat
dan sektor swasta muncul sebagai akibat dari ketidakpastian penguasaan lahan
dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Mereview
kasus penebangan pohon karet di wilayah Sambirejo merupakan praktek kegagalan
pengelolaan hutan yang tergolong kedalam permasalahan nomor tiga.
Secara
keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat
multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik
horizontal di masyarakat. Salah satu dari permasalahan tersebut adalah konflik
agraria. Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan
kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran, kegiatan
perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri.
Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaim hak-haknya atas
tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan
perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir.
Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan
hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun
perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah konsesi yang
terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik horizontal tersebut. Konflik
atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumberdaya alam tersebut akan tetap menjadi
konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk
merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.
Permasalahan
lain yang tidak kalah penting adalah konflik antara masyarakat dengan pemegang
izin perkebunan. Konflik terjadi karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa
yang berwenang dalam mengelola dan mengontrol kawasan hutan yang berakar dari
ketidakjelasan status dan lokasi kawasan hutan. Desentralisasi meningkatkan
peran pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD mereka melalui pemberian izin
perkebunan, baik skala kecil maupun skala besar. Di sisi lain, desentralisasi
juga memberikan akses kepada masyarakat lokal, khususnya masyarakat sekitar
kawasan hutan menuntut partisipasinya dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan
dan kawasan hutan. Masyarakat lokal berpendapat bahwa hutan seharusnya dikelola
berdasarkan sejarah penguasaan kawasan hutan secara turun-temurun.
Pada
awal reformasi, usaha untuk mereduksi potensi meningkatnya konflik diatur dalam
Tap MPR No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. peraturan ini mengamanatkan perlunya reformasi agraria melalui penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Oleh karena itu, Pasal 5
ayat (1) Tap MPR No. IX/MPR/2001 juga mengatur mengenai arah kebijakan
reformasi agraria, yaitu:[26] a. sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria dalam angka sinkronisasi kebijakan antar sektor; b.
melaksanaan reformasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
c. inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif; d. penyelesaian konflik agraria dan mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang; e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya; f.
mengupayakan pembiayaan secara sungguh-sungguh.
*Paradigma
Pengelolaan Hutan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat*
Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan
hutan harus dilakukan menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan,
keseimbangan, serta berkesinambungan baik antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya,
antara manusia dengan masyarakat, maupun antara manusia dengan ekosistemnya.
Pengelolaan hutan harus ditujukan tidak hanya untuk memperoleh manfaat yang
optimal dari hutan , tapi juga harus harus menjadikan kawasan hutan untuk
kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak
dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai
ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang
digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin
kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang
hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun
bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan
hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus
melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan
dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap
memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi
kepentingan pembangunan nasional.
Sebaiknya
pengelolaan hutan menggunakan paradigma pengelolaan hutan secara modern
berusaha untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan. Pengelolaan hutan
secara modern berangkat dari pemikiran dimana pemanfaatan kawasan hutan tidak
hanya ditujukan untuk mengejar kepentingan ekonomi semata melalui eksploitasi
sumber daya alam, melainkan juga mendukung fungsi ekologis dan sosial kawasan
hutan. Fungsi ekologis ditujukan melalui pemeliharaan ekosistem serta
konservasi sumber daya alam hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan.
Sedangkan fungsi sosial ditujukan dalam pengelolaan kawasan hutan yang
memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Dengan demikian, metode pengelolaan hutan modern berusaha membuat suatu
kerangka pengelolaan hutan yang bertumpu pada perekonomian masyarakat dan
mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan tanpa
mengesampingkan daya dukung ekosistem dan kelestarian lingkungan. Dalam metode
pengelolaan hutan secara modern, terdapat beberapa konsekuensi yang harus
diyakini dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, yaitu: a. Bahwa hutan dan
masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan. Karena itu orientasi pengelolaan
hutan harus berubah dari kepentingan memperoleh keuntungan finansial ke
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal
dikawasan hutan, dimana masyarakat menjadi pelaku utama. b. Bahwa hutan
merupakan sebuah ekosistem yang bersifat integral. Karena itu, pengelolaan
hutan konvensional yang hanya berorientasi pada kayu (/timber/ /extraction/)
harus diubah menuju pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber daya alam
yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa
lingkungan serta manfaat hutan lain.
Sumber
:
http://ristyopradana.blogspot.com/2012/08/kebijakan-kehutanan-mencari-solusi.html
No comments:
Post a Comment
Komentar boleh tapi tetep memegang teguh norma2 yang berlaku,belajar menghargai, dan saling menghormati