Tuesday, March 25, 2014

SOLUSI PENGELOLAAN HUTAN : REVIEW KASUS PENGANIAYAAN KARYAWAN PTPN IX OLEH WARGA DI SAMBIREJO SRAGEN



SRAGEN-Ribuan karyawan, Satgas dan serikat pekerja PTPN IX se-Jateng menyampaikan aspirasi atas aksi anarkis Sambirejo demo di halaman pabrik PTPN IX Kedawung (26/3).
Aksi anarkis dan penebangan pohon karet di wilayah Afdeling Kepoh milik PTPN IX Batujamus, Kerjoarum oleh ratusan warga Kecamatan Sambirejo, Senin (3/3) lalu, masih menyisakan rasa trauma bagi 10 petugas pengamanan dan karyawan PTPN IX wilayah Afdeling Kepoh. Di sela-sela aksi demo yang digelar di halaman kantor PTPN IX di Kedawung, Kamis (6/3), mereka pun turut dihadirkan di tengah massa dan kepolisian untuk memberi kesaksian.
Widodo, mandor kebun yang menjadi korban terluka dalam aksi penyanderaan itu pun membeberkan kisah pedih yang dialaminya.
“Siang itu, sekitar pukul 12.30 WIB, kami berjaga di kebun wilayah Kepoh, Sambirejo bersama teman-teman petugas keamanan. Ketika warga sudah menebangi pohon, tiba-tiba Pak Narji datang. Kerah baju saya langsung dipegang dan ditarik ke atas. Dia bawa tombak dan didorongkan terus ke arah leher saya sampai terluka ini,” ujarnya sambil menunjukkan luka memanjang di bahu tengahnya”
Ia mengisahkan, situasi siang itu memang sangat mencekam. Di tengah areal kebun karet, ia dan sembilan petugas keamanan serta satpam PTPN IX yang sedang piket patroli tak bisa berkutik, karena seluruh pohon karet berukuran besar di sekitar mereka sudah ditebangi oleh warga hingga menutup semua akses keluar. Setelah dilukai tombak, ia dan sembilan petugas dibiarkan terlantar dalam kepungan pohon selama hampir dua jam.
“Mau keluar gimana, lha wong nggak ada jalan. Sekeliling kami sudah dipenuhi pohon yang sengaja ditumbangkan menutup semua jalan keluar. Selama dua jam itu ya nggak bisa apa-apa, hanya duduk diam di dalam sambil menunggu bantuan. Mau jalan keluar sepeda motor kami juga sudah digembosi semua oleh mereka,” timpal Suparno, salah satu petugas yang menjadi korban penyanderaan.
Sementara, Sumadi, petugas lainnya yang juga ikut tersandera, mengatakan meski dibiarkan tersandera, tidak ada aksi pemukulan lainnya. Namun, ia sempat menyaksikan kalimat bernada ancaman yang keluar dari Sunarji saat menghunuskan tombak ke bahu mandornya, Widodo. “Waktu menodongkan tombak itu, Pak Narji hanya bilang perjuangan memang harus ada korban. Begitu dia bilang,” terangnya.
Sumadi menambahkan setelah dua jam tersandera, ia dan beberapa petugas akhirnya bisa keluar berkat bantuan salah satu anggota Intel Kodim 0725/Sragen, Rofiq yang datang dan mencarikan jalan keluar.
Kapolres Sragen, AKBP Dhani Hernando mengatakan hingga kini penyelidikan kasus tersebut masih dalam  proses. Menurutnya, tim masih melakukan pengumpulan bukti-bukti dan data-data di lapangan. Ia juga menggaransi penanganan akan tetap berjalan seperti apa yang sudah diinstruksikan Kapolda Jateng, Irjen Pol Dwi Priyatno saat ke Polres tiga hari lalu.
“Penanganan jalan terus. Ini masih kumpulkan bukti-bukti. Kami juga mengimbau warga dan PTPN IX bisa menahan diri dan menjaga kondusivitas seperti apa yang disepakati dalam mediasi di Pemkab lalu,” ujar Dhani, Jumat (7/3).
Administratur PTPN IX Kerjoarum, Agus Hargiyanto tetap berharap penanganan kasus ini bisa dituntaskan dan pihak yang terbukti bersalah melakukan perusakan maupun penganiayaan bisa dihukum sesuai aturan. Pasalnya, tidak hanya merugikan PTPN IX dan aset negara, aksi perusakan pohon karet di Sambirejo sudah berlangsung belasan tahun tanpa pernah ada tindakan tegas dari aparat.
Ia juga menegaskan sebenarnya status lahan yang diklaim milik warga itu sudah punya kekuatan hukum sebagai aset BUMN dan PTPN. Hal itu ditunjukkan dengan bukti Hak Guna Usaha (HGU) yang paling terakhir terbit tahun 2008 dengan durasi 25 tahun. Menurutnya, dari sekitar 425 hektare lahan di Afdeling Kepoh, 251 hektare sudah terbit HGU dan sisanya saat ini masih dalam proses di BPN pusat.
“Jadi secara legal formal, lahan itu memang milik negara dan oleh BUMN pengelolaannya diserahkan kepada PTPN. Kalau dirusak berarti merusak aset negara. Kerugian kami dari aksi Senin (3/3) lalu saja hampir Rp 3 miliar, padahal aksi penjarahan itu sudah berlangsung sejak 2000. Kalau dibiarkan berarti akan semakin mengancam aset negara yang harusnya dilindungi,” tukasnya.
Ia juga mengatakan jika supremasi hukum tak ditegakkan, maka dikhawatirkan aksi penjarahan akan terus terulang dan daerah juga akan dirugikan. Sebab, hampir setiap tahun, kontribusi PTPN untuk membayar PBB mencapai Rp 14 miliar.
Sumber :

REVIEW :
Pengelolaan hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa dekade, kegagalan Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai faktor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama penggerak pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar, baik dari segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis. Setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan hutan . *Pertama*, paradigma pengelolaan hutan selama ini yang cenderung eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tanpa melihat nilai sosial-budaya, serta ekologis dari kawasan hutan. *Kedua*, kebijakan pengelolaan hutan tidak bersifat strategis dan multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan hutan dengan sektor pembangunan lainnya. *Ketiga*, konflik antara masyarakat dan sektor swasta muncul sebagai akibat dari ketidakpastian penguasaan lahan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Mereview kasus penebangan pohon karet di wilayah Sambirejo merupakan praktek kegagalan pengelolaan hutan yang tergolong kedalam permasalahan nomor tiga. 
Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik horizontal di masyarakat. Salah satu dari permasalahan tersebut adalah konflik agraria. Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran, kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah konsesi yang terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumberdaya alam tersebut akan tetap menjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah konflik antara masyarakat dengan pemegang izin perkebunan. Konflik terjadi karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang dalam mengelola dan mengontrol kawasan hutan yang berakar dari ketidakjelasan status dan lokasi kawasan hutan. Desentralisasi meningkatkan peran pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD mereka melalui pemberian izin perkebunan, baik skala kecil maupun skala besar. Di sisi lain, desentralisasi juga memberikan akses kepada masyarakat lokal, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan menuntut partisipasinya dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan. Masyarakat lokal berpendapat bahwa hutan seharusnya dikelola berdasarkan sejarah penguasaan kawasan hutan secara turun-temurun.
Pada awal reformasi, usaha untuk mereduksi potensi meningkatnya konflik diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. peraturan ini mengamanatkan perlunya reformasi agraria melalui penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. IX/MPR/2001 juga mengatur mengenai arah kebijakan reformasi agraria, yaitu:[26] a. sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam angka sinkronisasi kebijakan antar sektor; b. melaksanaan reformasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; c. inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif; d. penyelesaian konflik agraria dan mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang; e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya; f. mengupayakan pembiayaan secara sungguh-sungguh.

Tuesday, March 18, 2014

KUNCI JAWABAN ALAM KUBUR



Bagi manusia yang beriman tentu kita percaya bahwa kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban atas segala hal yang telah kita kerjakan selama di dunia, tak terkecuali disaat kita di alam kuburpun kita akan ditanya oleh malaikat, dan berikut beberapa pertanyaan yang maktsur dari hadits Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Tanya : Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?
Jawab : Allahu Rabbi. Allah Tuhanku.

Tanya : Man Nabiyyuka? Siapa Nabimu?
Jawab : Muhammadun Nabiyyi. Muhammad Nabiku

Tanya : Ma Dinuka? Apa agamamu?
Jawab : Al-Islamu dini. Islam agamaku

Tanya : Man Imamuka? Siapa imammu?
Jawab : Al-Qur'an Imami. Al-Qur'an Imamku

Tanya : Aina Qiblatuka? Di mana kiblatmu?
Jawab : Al-Ka'batu Qiblati. Ka'bah Qiblatku

Tanya : Man Ikhwanuka? Siapa saudaramu?
Jawab : Al-Muslimun Wal-Muslimat Ikhwani. Muslimin dan Muslimah saudaraku..

Jawabannya sangat sederhana bukan?
Tapi apakah sesederhana itukah kelak kita akan menjawabnya?

Saat tubuh terbaring sendiri di perut bumi.
Saat kegelapan menghentak ketakutan.
Saat tubuh menggigil gemetaran.
Saat tiada lagi yang mampu jadi penolong.

Ya, tak akan pernah ada seorangpun yang mampu menolong kita.
Selain amal kebaikan yang telah kita perbuat selama hidup di dunia.

Bagi orang yang beriman saat hidup di dunia dan senantiasa mengerjakan segala apa telah Allah dan RasulNya perintahkan lalu menjauhi apa-apa yang telah dilarang baginya, tentu pertanyaan tersebut akan mudah untuk dijawabnya.

Namun sebaliknya, bagi orang yang kufur kepada Allah SWT, yang mengingkari segala hal yang telah diturunkan kepada NabiNya Muhammad SAW, yang tidak mau beribadah dan beramal shaleh selama hidup di dunia, namun dia selalu berbuat kerusakan dan kefasikan selama di dunia, maka selama-lamanya dia tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Yang mampu keluar dari mulutnya hanyalah:
Aaah…… ahh….. aaaahh….. laa adrie… (aaah… aaah…. Aaah… aku tidak tahu)
Lalu azab yang pedih telah disiapakan untuknya hingga datangnya hari kiamat.

Astaghfirullahal 'Adzim..
Ampunilah kami Ya Allah..
Kami hanyalah hamba-Mu yang berlumur dosa dan maksiat..
Sangat hina diri kami ini di hadapan-Mu..
Tidak pantas rasanya kami meminta dan selalu meminta maghfirah-Mu..
Sementara kami selalu melanggar larangan-Mu..

Ya Allah...
Izinkan kami untuk senantiasa bersimpuh memohon maghfirah dan rahmat-Mu..
Tunjukkanlah kami jalan terang menuju cahaya-Mu..
Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus.
Agar kami tidak sesat dan tersesatkan...

Amin Ya Rabbal 'Alamin.


HAM & RULE OF LAW



A.    HAM (Hak Asasi Manusia)
1.         Konsep Dasar dan Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara etimologi, kata „hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan kata „asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya. Misalnya hak hidup sebagai hak paling dasar yang dimiliki manusia, sehingga tak satupun manusia ini memiliki kewenangan untuk mencabut kehidupan manusia yang lain.
Secara istilah, beberapa tokoh dan praktisi HAM memiliki pemahaman akan makna HAM. Baharudin Lopa, dengan mengutip pernyataan Jan Materson dari Komisi HAM PBB, mengutarakan bahwa  hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sedangkan menurut John Locke seorang ahli pikir di bidang Ilmu Negara berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Ia memperinci hak asasi sebagai berikut:
1.      Hak hidup (the right to life)
2.      Hak kemerdekaan (right to liberty)
3.      Hak milik (right to property).
Konsep Hak Asasi Manusia terus mengalami transformasi.  Pada tanggal 6 Januari 1941, F. D. Roosevelt memformulasikan empat macam hak-hak asasi (the four freedoms) di depan Kongres Amerika Serikat, yaitu:
1.      Bebas untuk berbicara (freedom of speech)
2.      Bebas dalam memeluk agama (freedom of religion)
3.      Bebas dari rasa takut (freedom of fear) dan
4.      Bebas terhadap suatu keinginan/kehendak (freedom of from want).
Dimensi yang dirumuskan oleh F.D.  Roosevelt menjadi inspirasi dan bagian yang tidak terpisahkan dari Declaration of Human Right 1948, di mana seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat dan bertekad memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi dan merealisasikannya. Secara teoritis, hak-hak yang terdapat di dalam  The Universal Declaration of Human Rights dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:
1.      yang menyangkut hak-hak politik dan yuridis
2.      yang menyangkut hak-hak atas martabat dan integritas manusia
3.      yang menyangkut hak-hak sosial, ekonomi dan budaya
Pengertian hak asasi manusia menurut Tilaar (2001) adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.
Hak asasi manusia pada dasarnya bersifat umum atau universal, karena diyakini bahwa beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memandang bangsa, ras, atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi manusia adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak asasi manusia juga bersifat supralegal, artinya tidak tergantung pada negara atau undang-undang dasar, dan kekuasaan pemerintah. Bahkan HAM memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi,  yaitu Tuhan. Di Indonesia, hal ini ditegaskan dalam UU No. 39/1999 tentang hak asasi manusia, yang mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME.
Berdasarkan beberapa rumusan  pengertian HAM di atas, diperoleh kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. 
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) bahkan negara. Jadi, dalam memenuhi kebutuhan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat dari asasi manusia adalah keterpaduan antara hak asasi manusia (HAM), kewajiban asasi manusia (KAM), dan tanggung jawab asasi manusia (TAM) yang berlangsung secara sinergis dan seimbang.

3.      Perkembangan HAM di Indonesia
Secara garis besar, Prof. Dr. Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia (2001), membagi pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1956) dan periode setelah kemerdekaan.
1.      Periode sebelum kemerdekaan
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam organisasi pergerakan sebagai berikut:
a.       Budi Oetomo, pemikirannya, “hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat”.
b.      Perhimpunan Indonesia, pemikirannya, “hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
c.       Sarekat Islam, pemikirannya, “hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial”.
d.      Partai Komunis Indonesia,  pemikirannya, “hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi”.
e.       Indische Party, pemikirannya, “hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan perlakuan yang sama”.
f.       Partai Nasional Indonesia, pemikirannya, “hak untuk memperoleh kemerdekaan”.
g.      Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, pemikirannya meliputi:
(1)  Hak untuk menentukan nasib sendiri,
(2)  Hak untuk mengeluarkan pendapat,
(3)  Hak untuk berserikat dan berkumpul,
(4)  Hak persamaan di muka hukum,
(5)  Hak untuk turut dalam penyelenggaraan negar
2.      Periode sesudah kemerdekaan
a.       Periode 1945-1950.
Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada hak-hak mengenai:
(1)  Hak untuk merdeka (self determination),
(2)  Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan,
(3)  Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sebagai implementasi pemikiran HAM di atas, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang Partai Politik dengan tujuan untuk mengatur segala aliran yang ada dalam masyarakat dan pemerintah beharap partai tersebut telah terbentuk sebelum pemilu DPR pada bulan Januari 1946.
b.      Periode 1950-1959
Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan pada semangat kebebasan demokrasi liberal yang berintikan kebebasan individu. Implementasi pemikiran HAM pada periode ini lebih memberi  ruang hidup bagi tumbuhnya lembaga demokrasi yang antara lain:
(1)  Partai politik dengan beragam ideologinya
(2)  Kebebasan pers yang bersifat liberal
(3)  Pemilu dengan sistem multipartai
(4)  Parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah
(5)  Wacana pemikiran HAM yang kondusif karena pemerintah memberi kebebasan
c.       Periode 1959-1966
Pada periode ini pemikiran HAM  tidak  mendapat ruang kebebasan dari pemerintah atau dengan kata lain pemerintah melakukan pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak utnuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikrian dengan tulisan. Sikap pemerintah bersifat restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara. Salah satu penyebabnya adalah karena periode ini sistem pemerintahan parlementer berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin.
d.      Periode 1966-1998
Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu yang berbeda. Kurun waktu yang  pertama  tahun 1967 (awal pemerintahan Presiden Soeharto), berusaha melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan adanya hak uji materiil (judicial review) yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Kedua, kurun waktu tahun 1970-1980, pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap defensif (bertahan), represif (kekerasan) yang dicerminkan dengan produk  hukum  yang bersifat restriktif (membatasi) terhadap HAM. Alasan pemerintah adalah bahwa HAM merupakan produk pemikiran Barat dan tidak sesuai dnegan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
Ketiga, kurun waktu tahun  1990-an, pemikiran HAM tidak lagi hanya bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk lembaga penegakan HAM, seperti Komnas HAM  berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993. Selain itu, pemerintah memberikan kebebasan yang sangat besar menurut UUD 1945 amandemen, Piagam PBB, dan Piagam Mukadimah.
e.       Periode 1998-sekarang
Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM dan menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.  Artinya, pemerintah memberi perlindungan yang signifikan terhadap kebebasan HAM dalam semua  aspek,  yaitu aspek hak politik, sosial, ekonomi, budaya, keamanan, hukum, dan pemerintahan.
B.     Rule of Law
1.      Pengertian Rule of Law
Secara historis, penegakan hukum atau  rule of law merupakan suatu doktrin dalam hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar hukum (konsitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law  boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolute (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan  rule of law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara  formal,  rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki,  rule of law terkait dengan penegakan hokum yang menyangkut ukuran hukum yaitu baik dan buruk (just and unjust law).
Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja, akan tetapi lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hokum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat.
Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya  rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh ”kenyataan”, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adalah adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.  Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom.
                                            
2.      Fungsi Rule of Law
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ”rasa keadilan” bagi rakyat indonesia dan juga ”keadilan sosial”, sehingga diatur pada Pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip  rule of law  secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
1.      Negara indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3).
2.      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1).
3.      Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1).
4.      Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang  sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1).
5.      Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2).


3.      Prinsip Rule of Law
Prinsip-prinsip secara formal (in the formal sense) Rule Of Law tertera dalam UUD 1945 dan pasal-pasal UUD negara RI tahun 1945. Inti dari Rule Of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial.Prinsip-prinsip Rule of Law Secara Formal (UUD 1945)
a.             Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1: 3)
b.            Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali (pasal 27:1)
c.             Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum (pasal 28 D:1)
d.            Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja ( pasal 28 D: 2)
Prinsip-prinsip Rule of Law secara Materiil/ Hakiki :
a.       Berkaitan erat dengan the enforcement of the Rule of Law
b.      Keberhasilan the enforcement of the rule of law tergantung pada kepribadian nasional masing-masing bangsa (Sunarjati Hartono, 1982)
c.       Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa (Satdjipto Rahardjo, 2003)
d.      Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum, mengandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia, masyarakat dan negara.
e.       Rule of law merupakan suatu legalisme liberal (Satdjipto Rahardjo, 2003).

4.      Ciri Utama Rule of Law
a.       Lahir  dari kandungan “negara konstitusi” yang kemudian memunculkan “doktrin egalitarian”
b.      Menjadi doktrin dengan semangat dan idealisme yang tinggi seperti “supremasi hukum” dan “kesamaan  semua orang di hadapan hukum”

TENTANG NASA SUPER TRACE MINERAL

  NASA Super Trace Mineral NASA Super Trace Mineral adalah suplemen mineral terlengkap yang mengandung 76 unsur mineral makro & mikro ...