Tuesday, March 25, 2014

SOLUSI PENGELOLAAN HUTAN : REVIEW KASUS PENGANIAYAAN KARYAWAN PTPN IX OLEH WARGA DI SAMBIREJO SRAGEN



SRAGEN-Ribuan karyawan, Satgas dan serikat pekerja PTPN IX se-Jateng menyampaikan aspirasi atas aksi anarkis Sambirejo demo di halaman pabrik PTPN IX Kedawung (26/3).
Aksi anarkis dan penebangan pohon karet di wilayah Afdeling Kepoh milik PTPN IX Batujamus, Kerjoarum oleh ratusan warga Kecamatan Sambirejo, Senin (3/3) lalu, masih menyisakan rasa trauma bagi 10 petugas pengamanan dan karyawan PTPN IX wilayah Afdeling Kepoh. Di sela-sela aksi demo yang digelar di halaman kantor PTPN IX di Kedawung, Kamis (6/3), mereka pun turut dihadirkan di tengah massa dan kepolisian untuk memberi kesaksian.
Widodo, mandor kebun yang menjadi korban terluka dalam aksi penyanderaan itu pun membeberkan kisah pedih yang dialaminya.
“Siang itu, sekitar pukul 12.30 WIB, kami berjaga di kebun wilayah Kepoh, Sambirejo bersama teman-teman petugas keamanan. Ketika warga sudah menebangi pohon, tiba-tiba Pak Narji datang. Kerah baju saya langsung dipegang dan ditarik ke atas. Dia bawa tombak dan didorongkan terus ke arah leher saya sampai terluka ini,” ujarnya sambil menunjukkan luka memanjang di bahu tengahnya”
Ia mengisahkan, situasi siang itu memang sangat mencekam. Di tengah areal kebun karet, ia dan sembilan petugas keamanan serta satpam PTPN IX yang sedang piket patroli tak bisa berkutik, karena seluruh pohon karet berukuran besar di sekitar mereka sudah ditebangi oleh warga hingga menutup semua akses keluar. Setelah dilukai tombak, ia dan sembilan petugas dibiarkan terlantar dalam kepungan pohon selama hampir dua jam.
“Mau keluar gimana, lha wong nggak ada jalan. Sekeliling kami sudah dipenuhi pohon yang sengaja ditumbangkan menutup semua jalan keluar. Selama dua jam itu ya nggak bisa apa-apa, hanya duduk diam di dalam sambil menunggu bantuan. Mau jalan keluar sepeda motor kami juga sudah digembosi semua oleh mereka,” timpal Suparno, salah satu petugas yang menjadi korban penyanderaan.
Sementara, Sumadi, petugas lainnya yang juga ikut tersandera, mengatakan meski dibiarkan tersandera, tidak ada aksi pemukulan lainnya. Namun, ia sempat menyaksikan kalimat bernada ancaman yang keluar dari Sunarji saat menghunuskan tombak ke bahu mandornya, Widodo. “Waktu menodongkan tombak itu, Pak Narji hanya bilang perjuangan memang harus ada korban. Begitu dia bilang,” terangnya.
Sumadi menambahkan setelah dua jam tersandera, ia dan beberapa petugas akhirnya bisa keluar berkat bantuan salah satu anggota Intel Kodim 0725/Sragen, Rofiq yang datang dan mencarikan jalan keluar.
Kapolres Sragen, AKBP Dhani Hernando mengatakan hingga kini penyelidikan kasus tersebut masih dalam  proses. Menurutnya, tim masih melakukan pengumpulan bukti-bukti dan data-data di lapangan. Ia juga menggaransi penanganan akan tetap berjalan seperti apa yang sudah diinstruksikan Kapolda Jateng, Irjen Pol Dwi Priyatno saat ke Polres tiga hari lalu.
“Penanganan jalan terus. Ini masih kumpulkan bukti-bukti. Kami juga mengimbau warga dan PTPN IX bisa menahan diri dan menjaga kondusivitas seperti apa yang disepakati dalam mediasi di Pemkab lalu,” ujar Dhani, Jumat (7/3).
Administratur PTPN IX Kerjoarum, Agus Hargiyanto tetap berharap penanganan kasus ini bisa dituntaskan dan pihak yang terbukti bersalah melakukan perusakan maupun penganiayaan bisa dihukum sesuai aturan. Pasalnya, tidak hanya merugikan PTPN IX dan aset negara, aksi perusakan pohon karet di Sambirejo sudah berlangsung belasan tahun tanpa pernah ada tindakan tegas dari aparat.
Ia juga menegaskan sebenarnya status lahan yang diklaim milik warga itu sudah punya kekuatan hukum sebagai aset BUMN dan PTPN. Hal itu ditunjukkan dengan bukti Hak Guna Usaha (HGU) yang paling terakhir terbit tahun 2008 dengan durasi 25 tahun. Menurutnya, dari sekitar 425 hektare lahan di Afdeling Kepoh, 251 hektare sudah terbit HGU dan sisanya saat ini masih dalam proses di BPN pusat.
“Jadi secara legal formal, lahan itu memang milik negara dan oleh BUMN pengelolaannya diserahkan kepada PTPN. Kalau dirusak berarti merusak aset negara. Kerugian kami dari aksi Senin (3/3) lalu saja hampir Rp 3 miliar, padahal aksi penjarahan itu sudah berlangsung sejak 2000. Kalau dibiarkan berarti akan semakin mengancam aset negara yang harusnya dilindungi,” tukasnya.
Ia juga mengatakan jika supremasi hukum tak ditegakkan, maka dikhawatirkan aksi penjarahan akan terus terulang dan daerah juga akan dirugikan. Sebab, hampir setiap tahun, kontribusi PTPN untuk membayar PBB mencapai Rp 14 miliar.
Sumber :

REVIEW :
Pengelolaan hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa dekade, kegagalan Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai faktor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama penggerak pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar, baik dari segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis. Setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan hutan . *Pertama*, paradigma pengelolaan hutan selama ini yang cenderung eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tanpa melihat nilai sosial-budaya, serta ekologis dari kawasan hutan. *Kedua*, kebijakan pengelolaan hutan tidak bersifat strategis dan multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan hutan dengan sektor pembangunan lainnya. *Ketiga*, konflik antara masyarakat dan sektor swasta muncul sebagai akibat dari ketidakpastian penguasaan lahan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Mereview kasus penebangan pohon karet di wilayah Sambirejo merupakan praktek kegagalan pengelolaan hutan yang tergolong kedalam permasalahan nomor tiga. 
Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik horizontal di masyarakat. Salah satu dari permasalahan tersebut adalah konflik agraria. Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran, kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah konsesi yang terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumberdaya alam tersebut akan tetap menjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah konflik antara masyarakat dengan pemegang izin perkebunan. Konflik terjadi karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang dalam mengelola dan mengontrol kawasan hutan yang berakar dari ketidakjelasan status dan lokasi kawasan hutan. Desentralisasi meningkatkan peran pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD mereka melalui pemberian izin perkebunan, baik skala kecil maupun skala besar. Di sisi lain, desentralisasi juga memberikan akses kepada masyarakat lokal, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan menuntut partisipasinya dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan. Masyarakat lokal berpendapat bahwa hutan seharusnya dikelola berdasarkan sejarah penguasaan kawasan hutan secara turun-temurun.
Pada awal reformasi, usaha untuk mereduksi potensi meningkatnya konflik diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. peraturan ini mengamanatkan perlunya reformasi agraria melalui penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. IX/MPR/2001 juga mengatur mengenai arah kebijakan reformasi agraria, yaitu:[26] a. sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam angka sinkronisasi kebijakan antar sektor; b. melaksanaan reformasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; c. inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif; d. penyelesaian konflik agraria dan mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang; e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya; f. mengupayakan pembiayaan secara sungguh-sungguh.

*Paradigma Pengelolaan Hutan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat* Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan harus dilakukan menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, keseimbangan, serta berkesinambungan baik antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, antara manusia dengan masyarakat, maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan hutan harus ditujukan tidak hanya untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan , tapi juga harus harus menjadikan kawasan hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi kepentingan pembangunan nasional.
Sebaiknya pengelolaan hutan menggunakan paradigma pengelolaan hutan secara modern berusaha untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan. Pengelolaan hutan secara modern berangkat dari pemikiran dimana pemanfaatan kawasan hutan tidak hanya ditujukan untuk mengejar kepentingan ekonomi semata melalui eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga mendukung fungsi ekologis dan sosial kawasan hutan. Fungsi ekologis ditujukan melalui pemeliharaan ekosistem serta konservasi sumber daya alam hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan. Sedangkan fungsi sosial ditujukan dalam pengelolaan kawasan hutan yang memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dengan demikian, metode pengelolaan hutan modern berusaha membuat suatu kerangka pengelolaan hutan yang bertumpu pada perekonomian masyarakat dan mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan tanpa mengesampingkan daya dukung ekosistem dan kelestarian lingkungan. Dalam metode pengelolaan hutan secara modern, terdapat beberapa konsekuensi yang harus diyakini dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, yaitu: a. Bahwa hutan dan masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan. Karena itu orientasi pengelolaan hutan harus berubah dari kepentingan memperoleh keuntungan finansial ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dikawasan hutan, dimana masyarakat menjadi pelaku utama. b. Bahwa hutan merupakan sebuah ekosistem yang bersifat integral. Karena itu, pengelolaan hutan konvensional yang hanya berorientasi pada kayu (/timber/ /extraction/) harus diubah menuju pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber daya alam yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa lingkungan serta manfaat hutan lain.

Sumber :
http://ristyopradana.blogspot.com/2012/08/kebijakan-kehutanan-mencari-solusi.html

No comments:

Post a Comment

Komentar boleh tapi tetep memegang teguh norma2 yang berlaku,belajar menghargai, dan saling menghormati

TENTANG NASA SUPER TRACE MINERAL

  NASA Super Trace Mineral NASA Super Trace Mineral adalah suplemen mineral terlengkap yang mengandung 76 unsur mineral makro & mikro ...